Rabu, 24 Oktober 2012

Belajar Sampai ke Negeri Cina

Belajar Sampai ke Negeri Cina

Implementasi Pendidikan Etika dan Karakter Peserta Didik

Implementasi Pendidikan Etika dan Karakter Peserta Didik

Rumusan Standar Kompetensi Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an

Rumusan Standar Kompetensi Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an

NGAJI AQOID KEPADA MBAH WAHAB (1)

Pengertian Ilmu Aqoid
Senin, 15/10/2012 18:00
Pada kesempatan ini rubrik ubudiyah bermaksud menghadirkan kembali tulisan KH. Abdul Wahab Chasbullah mengenai ilmu aqoid yang pernah dimuat secara bersambung pada majalah ‘Oetusan Nahdlatul Oelama’ pada awal tahun 1928.Hal ini dipandang perlu mengingat ilmu aqoid sebagai salah satu asas dalam memahami Islam secara sempurna –kaffah-, kini mulai jarang disentuh. Bahkan hampir mengalami ‘kepunahan’. Buktinya, jarang sekali kita mendengar istilah aqoid, apalagi ilmu aqoid. Telinga dan mata kita lebih familier dengan istilah aqidah islam, aqidah ahlussunnah atau malahan kalimat pertentangan aqidah. Semuanya kita fahami begitu saja tanpa pikir panjang.
Selanjutnya diterangkan bahwa ilmu aqoid sebagaimana diterangkan dalam kitab Bajuri dan Jam’ul Jawami’ sebagai:
..... ........ ....... .......... ........ ....... .. ...... .......
"Pengetahuan yang terikat dalam masalah keyakinan keagamaan yang diambil dari dalil-dalil syara’". 
Adapun guna mempelajari ilmu aqoid adalah untuk membetulkan dan meneguhkan iman manusia kepada Tuhan Allah Ta’ala. Iman yang benar akan mengesahkan segala amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lannya. Dan surga menjadi pahala balasan di akhirat nanti. Namun, jika iman seseorang tidak dalam posisi yang benar, maka semua amal itu akan sia-sia. Dan di akhirat nanti neraka sebagai ganjarannya.
Melihat posisi dan guna ilmu aqoid yang begitu pentingnya, maka belajar ilmu aqoid hukumnya fardhu ain. Artinya wajib bagi setiap orang yang berakal untuk mempelajarinya . Ilmu aqoid dinamakan demikian Ilmu aqoid karena pengetahuan ini berisikan satu bundelan (ikatan) mengenai sahnya iman dan Islam yang jumlahnya 50, yang terkenal dengan istilah aqoid seket. Dengan perincian 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat
mustahil bagi Allah, 1 sifat jaiz bagi Allah, 4 sifat wajib bagi Rasul, 4 mustahil bagi Rasul dan 1 sifat jaiz bagi Allah. Semuanya itu terkandung di dalam kalimah La Ilaha Illallah. Ilmu aqoid juga disebut ilmu ushuluddin, yaitu ilmu mengenai pokoknya agama. Karena itu barang siapapun orangnya beribadah siang malam, tetapi tidak memiliki pengetahuan ilmu ini, maka ibadah itu dianggap tidak sah.
Selain itu, ilmu ini juga disebut dengan ilmu kalam (ilmu bicara), karena siapapun tidak akan dapat memahami ilmu aqoid ini secara benar, apabila belum dibicarakan dengan panjang lebar dan penuh perhatian. Bahkan perlu digaris bawahi bahwa memahami ilmu aqoid ini tidak cukup dengan membaca buku saja tetapi harus melalui seorang guru (digurukan).
Demikian diterangkan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam Majalah Oetusan Nahdlatul Oelama. Adapun mengenai medan pembahasan ilmu aqoid akan diterangkan menyusul. Penulisan kembal ini tentunya disertai perubahan edjaan dan gaya bahasa yang berlaku sekarang untuk mempermudah pemahaman.
Sumber: Oetusan Nahdlatul Oelama, No1. Tahun ke.1. (Redaktur: Ulil Hadrawy)

Senin, 22 Oktober 2012

Download Tarjemah Kitab Safinatun Najaa (Bahtera Keselamatan) ; متن سفينة النجا في اصول الدين والفقه على المذهب الشافعي

Ashhaabur Ro'Yi: Download Tarjemah Kitab Safinatun Najaa (Bahtera Keselamatan) ; متن سفينة النجا في اصول الدين والفقه على المذهب الشافعي

Ashhaabur Ro'Yi: Ebook Islami Gratis : Kenalilah Aqidahmu Karangan al-'Allamah al-'Arif Billah Habib Munzir al-Musawa

Ashhaabur Ro'Yi: Ebook Islami Gratis : Kenalilah Aqidahmu Karangan al-'Allamah al-'Arif Billah Habib Munzir al-Musawa

Fadhilah Puasa Arafah


Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 bulan Dzulhijah pada kalender Islam Qamariyah/Hijriyah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum Muslimin yang tidak menjalankan ibadah haji.

Kesunnahan puasa Arafah tidak didasarkan adanya wukuf di Arafah oleh jamaah haji, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia tidak sama dengan di Saudi Arabia yang hanya berlainan waktu 4-5 jam. Ini tentu berbeda dengan kelompok umat Islam yang menghendaki adanya ‘rukyat global’, atau kelompok yang ingin mendirikan khilafah islamiyah, dimana penanggalan Islam disamaratakan seluruh dunia, dan Saudi Arabia menjadi acuan utamanya.

Keinginan menyamaratakan penanggalan Islam itu sangat bagus dalam rangka menyatukan hari raya umat Islam, namun menurut ahli falak, keinginan ini tidak sesuai dengan kehendak alam atau prinsip-prinsip keilmuan. Rukyatul hilal atau observasi bulan sabit yang dilakukan untuk menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah berlaku secara nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri masing-masing dan berlaku satu wilayah hukum. Ini juga berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad SAW sendiri. (Lebih lanjut tentang hal ini silakan klik di rubrik Syari’ah dan Iptek)

Penentuan hari arafah itu juga ditegaskan dalam Bahtsul Masa’il Diniyah Maudluiyyah pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di Pondok Pesantren Lirboyo, akhir 1999. Ditegaskan bahwa yaumu arafah atau hari Arafah yaitu tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender negara setempat yang berdasarkan pada rukyatul hilal.

Adapun tentang fadhilah atau keutamaan berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُوْرَاَء يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً

Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat
. (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah)

Para ulama menambahkan adanya kesunnahan puasa Tarwiyah yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah, yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits lain, bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan bahwa hadits ini dloif (tidak kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.

Selain itu, memang pada hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa untuk menjalankan ibadah seperti puasa. Abnu Abbas RA meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:
مَا مِنْ أيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِيْ أَياَّمُ اْلعُشْرِ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهُ فَلَمْ يَرْجِعُ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ

Diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, walaupun jihad di jalan Allah? Rasulullah bersabda: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya atau menjadi syahid.
(HR Bukhari)

Puasa Arafah dan Tarwiyah sangat dianjurkan bagi yang tidak menjalankan ibadah haji di tanah suci. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa Ramadhan.

Bagi kaum Muslimin yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan juga disarankan untuk mengerjakannya pada hari Arafah ini, atau hari-hari lain yang disunnahkan untuk berpuasa. Maka ia akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala puasa wajib (qadha puasa Ramadhan) dan pahala puasa sunnah. Demikian ini seperti pernah dibahas dalam Muktamar NU X di Surakarta tahun 1935, dengan mengutip fatwa dari kitab Fatawa al-Kubra pada bab tentang puasa:
يُعْلَمُ أَنَّ اْلأَفْضَلَ لِمُرِيْدِ التََطَوُّعِ أَنْ يَنْوِيَ اْلوَاجِبَ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالتَّطَوُّعِ لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ

Diketahui bahwa bagi orang yang ingin berniat puasa sunnah, lebih baik ia juga berniat melakukan puasa wajib jika memang ia mempunyai tanggungan puasa, tapi jika ia tidak mempunyai tanggungan (atau jika ia ragu-ragu apakah punya tanggungan atau tidak) ia cukup berniat puasa sunnah saja, maka ia akan memperoleh apa yang diniatkannya. Wallahu A'lam